Wednesday 31 December 2008

Jauhi Syirik??? masa' c....???

Syirik tuch fenomena yg g asing lagi di masyrkat, dg adanya dukun(modern atupun dukun kampung sama aja), benda2 yg dipercaya punya power(dari keris sampe jimat modern) n dll...
Memang dosa paling besar, menurut Islam, adalah dosa syirik atau mempersekutukan Tuhan. Sampai-sampai Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa saj ayang Ia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah (syirik), maka sungguh ia telah melakukan dosa yang sangat besar." (QS 4. An-Nisaa: 48)
tapi temen2 mgkn pernah liat orang malah pake batu akik sbg cincin yg dianggap punya kekuatan huebat....
emg bener kah??tidak ada bedanya dijaman dahulu dan sekarang ini apabila masih ada orang yang masih percaya dengan benda-benda yang bisa memberikan kekuatan, bertuah, dan diyakini bisa mendapatkan keuntungan dan barokah..maka orang tersebut bisa tergolong menjadi orang yang melakukan kesyirikan..naudzubillah

 
moga qt smua dihindarkan dari hal macem syirik, inget kekuatan Allah no 1 g ada yg bisa nandingi...



 click here : http://eimimo.com/?ref=122689

Tuesday 30 December 2008

Yang Saya Tau Tentang Jilbab

Oleh : Sholehudin Moehtadi*

"….ketika seorang bertanya kepada temannya, apakah yang paling berharga bagi seorang manusia?" temannya menjawab "Ilmu, karena dengannya seorang bisa hidup".

"Kalau tidak ada ilmu?"

"Harta, karena denganya seorang mengasihi orang lain".

"Kalau tidak ada harta?"

"Mulut yang diam"

"Kalau tidak ada?"

"Kematian yang menggenaskan".

(dikutip dari kitab min syiami al-uqola karya Al-A'baadi Al-Andalusi)

Dalam menyikapi perintah-perintah Allah SWT ada dua macam golongan manusia di muka bumi ini yang saya ketahui. Golongan yang pertama adalah mereka yang berhati lurus. Ketika Allah SWT memerintahkan mereka agar melakukan sesuatu seperti misalnya "Kamu harus melakukan sholat lima waktu dalam sehari !" atau misalnya "Kamu mesti membayar zakat !" atau "Kamu mesti menutup aurat dengan berjilbab !" maka dengan penuh hikmat mereka melaksanakan perintah-perintah tersebut tanpa ada ganjalan sedikitpun dalam hatinya, apalagi menggrundel. Mereka adalah para kekasih Allah SWT yang tersebar di penjuru bumi. Golongan yang kedua adalah mereka yang belum lurus hatinya. Ketika Allah SWT memerintahkan mereka dengan perintah-perintah seperti misal di atas mereka akan berkata "Kenapa mesti sholat lima waktu, tidak satu waktu saja !? Kenapa mesti bayar zakat dan menutup aurat segala, Bukankah yang penting bagi manusia adalah berbuat baik". Lebih ngeri lagi mereka berkata "Untuk apa kita sholat, berzakat dan berjilbab kalau nasib kita masih begini-begini saja?!" Padahal ketika mereka mendapat perintah dari mertuanya atau dari bossnya untuk melakukan suatu pekerjaan yang tidak enak sekalipun mereka selalu bilang "Siap pak!" atau "Iya pak!" atau "Enggeh pak de!" Kepada model orang semacam ini kita berharap agar Allah SWT merahmatinya. Allah Yarhamuh.

Memakai jilbab adalah kewajiban bagi setiap muslimah. Tidak ada satu ulama pun di dunia ini dari sejak zaman para imam sampai sekarang yang mengatakan tidak wajib, kecuali ulama yang perlu diluruskan hatinya yang mengatakan tidak wajib. Tentu saja ada saat-saat kapan seorang muslimah itu tidak diwajibkan memakai jilbab. Itu bisa kita baca di buku-buku fiqih atau tanya sama ustadz dan ustadzah yang mengerti soal ini. Kemudian para ulama tersebut, ketika mereka mengatakan bahwa berjilbab itu wajib, mereka mengatakan berdasar atas perintah Allah SWT yang termaktub di dalam Al-Qur'an, diantaranya yang terdapat dalam surah al-Ahzab ayat 59. "Tapi Al-Qur'an kan butuh penafsiran, tidak kita ambil mentah-mentah begitu saja!?" yah, silahkan anda tafsiri kalau anda memenuhi syarat untuk itu. Asal jangan menafsiri Al-Qur'an dengan bahasa jawa saja. Seperti darmo gandul.

"Oke mas, saya terima kalau pakai jilbab itu wajib, tapi tempatnya di hati. Bukan di kepala!?".

Allah SWT ketika melarang kaum hawa agar tidak memperlihatkan apapun yang mempercantik dirinya, dan itu adalah seluruh anggota badanya, kecuali ada beberapa anggota badan yang boleh diperlihatkan di depan umum (An-Nur : 31). Ulama berbeda pendapat tentang beberapa anggota badan kaum hawa yang boleh ditampakkan. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah berpendapat bahwa anggota badan tersebut adalah wajah dan kedua telapak tangan, mereka mengambil pendapat dari beberapa sahabat dan para tabi'in seperti Said bin Jubair ra dan A'tho bin Robah ra. Mereka berargumen, bukti bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat adalah ketika sholat wanita membuka wajah dan kedua telapak tangannya, begitu juga ketika berihram. Kalau saja wajah dan kedua telapak tangan itu aurat maka mereka tidak diperbolehkan memperlihatkannya di dalam sholat. Karena membuka aurat di dalam sholat adalah batal. Adapun Syafi'iyyah dan Hambaliyyah berpendapat bahwa seluruh anggota badan wanita di luar sholat adalah aurat termasuk wajah dan kedua telapak tangan. Mereka membangun pendapat tersebut dari hasil interpretasi surat An-Nur ayat 31, juga banyak Hadist dan dalil aqli yang pada kesempatan kali ini tidak saya tuturkan satu persatu karena keterbatasan ruang dan waktu. Hanya saja mereka berpendapat bahwa kata "Ziynah" di dalam surah An-Nur ayat 31 yang kalau kita tafsiri secara bebas dalam bahasa Indonesia menjadi perhiasan atau kecantikan, memiliki dua pengertian. Yang pertama adalah "Ziynah" (perhiasan atau kecantikan) secara alami, dan wajah adalah asal dari "Ziynah" yang sifatnya alami. Bahkan ia adalah sumber dari keacantikan. Kedua adalah "Ziynah" yang tidak alami, ia adalah sesuatu yang dengan sesuatu tersebut wanita mempercantik dirinya. Seperti baju, bedak, lipstick dan sebagainya. Dan Allah SWT melarang kaum hawa untuk tidak memperlihatkan kecantikannya secara mutlak baik yang alami atau tidak alami, yaitu yang terdapat di dalam surah An-Nur ayat 31.

Perbedaan pendapat ulama dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan wanita di atas tadi saya tuturkan dengan sangat singkat dan ringkas. Para ulama kontemporer sepertinya lebih banyak condong kepada pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat. Mereka mengatakan bahwa tugas kaum wanita adalah untuk menutupi seluruh anggota badanya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Adapun wajah yang terbuka yang masih dapat dilihat oleh kaum laki-laki asing adalah tugas bagi kaum laki-laki tersebut agar tidak melihatnya. Dan yang merintahkan kaum laki-laki agar tidak melihat wajah kaum perempuan adalah Allah SWT (An-Nur : 30) sebaliknya kaum hawa pun tidak diperkenankan untuk melihat wajah kaum laki-laki (An-Nur : 31). Tentu saja larangan-larangan tersebut sifatnya tidak mutlak, ada saat-saat tertentu kapan kaum laki-laki diperbolehkan melihat wajah wanita bahkan disunnahkan untuk memandangnya. Seperti ketika laki-laki hendak meminang seorang gadis misalnya. Atau dalam praktek jual beli. Juga ada saat-saat kapan kaum wanita diperbolehkan memperlihatkan kecantikannya, bahkan disunnahkan. Seperti di depan suaminya dan banyak contoh-contoh lain yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih atau tanya sama ustadz dan ustadzah yang saya sebutkan di atas tadi.

Dari uraian di atas tadi kita bisa mengerti bahwa maksud dari jilbab (hijab) adalah jilbab secara dhohiriyah bukan maknawiyah (jilbab hati). Adapun 'jilbab hati' - kalau yang dimaksud itu adalah hati yang bersih - maka ada banyak perintah-perintah dari Allah SWT dan Rosulullah Saw yang menuntut seluruh manusia untuk men-jilbabi hati-nya. jadi dalam soal 'jilbab hati' ini perintahnya tidak saja untuk kaum wanita, kaum laki-laki pun wajib men-jilbabi hati-nya, bahkan waria pun wajib. Karena setiap mahluk yang berakal diperintahkan oleh Allah SWT untuk beribadah kepada-Nya. Dan beribadah kepada Allah SWT harus memiliki hati yang bersih dari unsur-unsur syirik dan riya, yaitu hati yang ihklas dan ber-jilbab.

"…Iya, tapi kenapa yang disuruh pakai jilbab kok cuma kaum perempuan saja. Ini namanya diskriminasi mas..! Bukankah laki-laki dan perempuan pada hakikatnya adalah sama-sama manusia yang memiliki keindahan dan syahwat duniawiah?"

Aduh, saya tidak dapat membayangkan mbak jika kaum laki-laki diwajibkan pakai jilbab seperti perempuan. Apalagi jika laki-laki itu adalah orang arab yang memiliki jenggot dan kumis yang melintang tebal tentu tampangya akan menjadi kacau dan tidak karuan. Tetapi mungkin sebagai jawaban atas pertanyaan di atas seperti apa yang dikatakan Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buti dalam kitabnya ila kulli fataatin tu'minu billah (Buat setiap gadis yang beriman kepada Allah) bahwa Allah SWT menjadikan fitrah bagi kaum perempuan yang secara psikis lebih banyak menjadi pribadi yang dicari dari pada pribadi yang mencari(Hunted, bukan Hunter). Sehingga sebesar apapun syahwat perempuan terhadap laki-laki ia akan selalu dalam posisi menunggu dan meninggikan dirinya. Berbeda dengan kaum laki-laki ketika nafsunya menginginkan sesuatu, ia selalu dalam posisi mencari dan seluruh kekuatan yang dimilikinya digerakkan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya itu. Maka dari itu perempuan menjadi fitnah bagi laki-laki lebih besar daripada laki-laki menjadi fitnah bagi perempuan. Dan itu sesuai dengan apa yang pernah dikatakan Rosulullah Saw yang dalam terjemahan secara bebasnya demikian :" Sekali-kali aku tidak meninggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada perempuan" (mutafaq alaih).

Nah, jika seperti ini kenyataanya, kita tahu bahwa perintah Allah SWT terhadap kaum perempuan agar menggenakan jilbab bukanlah sesuatu yang diskriminatif. Itu sengaja diperintahkan oleh Allah SWT, pertama untuk melindungi kaum perempuan dari bahaya lelaki yang berhidung belang dan kedua demi keseimbangan kejiwaan masyarakat secara umum (lingkungan sosial). Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya "Ahkam An-Nisa" ketika menjelaskan tentang kenapa kaum perempuan tidak diperkenankan untuk berpergian sendirian tanpa mahromnya, beliau mengatakan itu demi keselamatan kaum perempuan dan keselamatan publik. Bukankah pada saat yang sama laki-laki juga diperintahkan agar tidak melihat perempuan yang tidak halal baginya secantik apapun permpuan tersebut, baik berjilbab atau tidak berjilbab. Itu pun sengaja diperintahkan Allah SWT bagi kaum laki-laki dengan tujuan untuk meringankan beban syahwat laki-laki yang diciptakan sebagi mahluk yang lemah dan selalu condong terhadap syahwat dunia ( surah An-Nisa : 27-28). Jadi kosong-kosong kan?

Jadi akan lebih selamat dunia-akherat bagi seseorang yang masih belum sanggup memenuhi perintah Allah, agar tidak memungkirinya sebagai kewajiban. Dia Jiwanya yang dipenuhi dengan nafsu dunia telah mengalahkan ketaatannya kepada Allah, Namun demikian hatinya tetap mengakui kehinaannya di hadapan Allah disebabkan kemaksiatan-kemaksiatan dan mengharap rahmat-Nya agar dikeluarkan dari lingkaran kemaksiatan tersebut. Orang seperti ini suatu hari nanti dengan rahmat-Nya Allah akan mengubah garis hidupnya menjadi hamba yang taat dan dijadikan sebagi kekasihnya. Karena inti dari ubudiyyah (penghambaan diri) adalah mengakui dan tunduk atas hukum-hukum dan kebesaran Allah SWT. Ibnu Athoillah As-Sakandari mengatakan "Kemaksiatan yang diiringi dengan kerendahan diri dan mengakui kebesaran Allah lebih baik dari pada ketaatan yang diliputi dengan kesombongan dan ketakaburan". Tetapi ini jangan dipahami bahwa berbuat maksiat lebih baik dari pada berbuat taat.

Lain halnya dengan orang yang belum sanggup memenuhi kewajiban yang diperintahkan Allah SWT tetapi mengingkari itu sebagai kewajiban dari-Nya, kemudian takabur terhadap hukum-hukum Allah, kita takutkan dia akan mati sengsara dunia dan akherat. Apalagi sampai mengumbar mulutnya untuk berbicara tentang agama yang dia tidak mengetahuinya dengan benar, kepada orang yang semacam ini, dia tidak saja diwajibkan untuk men-jilbabi kepala dan hatinya, tetapi juga lebih utama ia diwajibkan untuk men-jilbabi mulutnya agar tidak melukai kemanusian. Sebab jika mulutnya tidak menggenakan jilbab saya takut ia akan terkapar di atas ring kehidupan ini secara menggenaskan. Semoga Allah SWT menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang taat dan menggabungkan kita dalam barisan para kekasih-Nya amin. Wallahu a'lam bisshawab.

http://www.avangate.com/affiliates/activate.php?code=lsh8easyqym1359331683

WASPADALAH TERHADAP PERANGKAP RIYA.

Oleh
Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah



IKHLAS UNTUK ALLAH TA'ALA [1]
Apa syarat diterimanya amal?
Sebelum anda melangkah satu langkah –wahai saudaraku muslim- hendaklah anda mengetahui jalan untuk merengkuh keselamatanmu. Janganlah anda memberati diri dengan amalan-amalan yang banyak,. Karena, alangkah banyak orang yang memperbanyak amalan, namun hal itu tidak memberikan manfaat kepadanya kecuali rasa capai dan keletihan semata di dunia dan siksaan di akhirat. [2]

Maka, sebelum memulai semua amalan, hendaklah anda mengetahui syarat
diterimanya amal. Yaitu harus terpenuhi dua perkara penting pada setiap
amalan. Jika salah satu tidak tercapai, akibatnya amalan seseorang tidak ada
harapan untuk diterima.
Pertama : Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kedua : Amalan itu telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
Al-Qur'an, atau dijelaskan oleh Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
sunnahnya, dan mengikuti Rasulullah dalam pelaksanaannya.

Jika salah satu dari dua syarat ini rusak, perbuatan yang baik tidak masuk
kategori amal shalih dan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pernyataan ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala.

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya" [Al-Kahfi : 110]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan agar amal yang
dikerjakan ialah amalan shalih, yaitu amal perbuatan yang sesuai dengan
aturan syari'at. Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan orang
yang menjalankannya supaya mengikhlaskan amalan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, tidak mencari pahala atau pamrih dari selain-Nya dengan amalan itu.

Al-Hafiz Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya ; "Dua perkara ini merupakan
rukun diterimanya suatu amalan. Yaitu, amalan itu harus murni untuk Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Keterangan serupa juga diriwayatkan Al-Qadhi Iyadh
rahimahullah dan lainnya" [Tafsir surah Al-Kahfi].

PERINTAH IKHLAS, LARANGAN BERBUAT RIYA DAN SYIRIK [3]
Ketahuilah, wahai saudaraku muslim, bahwa semua amalan pasti terjadi dengan niat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Sesungguhnya semua amalan ini terjadi dengan niat, dan setiap orang
mendapatkan apa yang dia niatkan" [4]

Dan dalam amal itu harus mengikhlaskan niat untuk Allah Ta'ala berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat ; dan yang demikian itulah agama yang lurus" [Al-Bayyinah : 5]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.

"Katakanlah : 'Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atas kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui" [Ali-Imran : 29]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah memperingatkan bahaya dari berbuat
riya', dalam firman-Nya.

"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu" [Az-Zumar : 65]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Allah Ta'ala berfirman ; "Aku sangat tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa
beramal dengan suatu amalan, dia mneyekutukan selain Aku bersama-Ku pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya" [HR Muslim, no. 2985]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Barangsiapa mempelajari ilmu yang dengannya dicari wajah Allah Azza wa
Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih kesenangan dunia
dengan ilmu itu, ia tidak akan mendapat aroma surga pada hari kiamat" [5]

RIYA DAN JENIS-JENISNYA [6]
Di antara jenis riya' ialah sebagi berikut.

1). Riya Yang Berkaitan Dengan Badan
Misalnya dengan menampakkan kekurusan dan wajah pucat, agar penampakan ini, orang-orang yang melihatnya menilainya memiliki kesungguhan dan dominannya rasa takut terhadap akhirat. Dan yang mendekati penampilan seperti ini ialah dengan merendahkan suara, menjadikan dua matanya menjadi cekung, menampakkan keloyoan badan, untuk menampakkan bahwa ia rajin berpuasa.

2). Riya Dari Sisi Pakaian
Misalnya, membiarkan bekas sujud pada wajah, mengenakan pakaian jenis
tertentu yang biasa dikenakan oleh sekelompok orang yang masyarakat menilai mereka sebagai ulama, maka dia mengenakan pakaian itu agar dikatakan sebagai orang alim.

3). Riya Dengan Perkataan
Umumnya, riya' seperti ini dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan
agama. Yaitu dengan memberi nasihat, memberi peringatan, menghafalkan
hadits-hadits dan riwayat-riwayat, dengan tujuan untuk berdiskusi dan
melakukan perdebatan, menampakkan kelebihan ilmu, berdzikir dengan
menggerakkan dua bibir di hadapan orang banyak, menampakkan kemarahan
terhadap kemungkaran di hadapan manusia, membaca Al-Qur'an dengan
merendahkan dan melembutkan suara. Semua itu untuk menunjukkan rasa takut, sedih, dan khusyu' (kepada Allah, pent).

4). Riya' Dengan Perbuatan
Seperti riya'nya seseorang yang shalat dengan berdiri sedemikian lama,
memanjangkan ruku, sujud dan menampakkan kekhusyu'an, riya' dengan
memperlihatkan puasa, perang (jihad), haji, shadaqah dan semacamnya.

5). Riya' Dengan Kawan-Kawan Dan Tamu-Tamu
Seperti orang yang memberatkan dirinya meminta kunjungan seorang alim (ahli ilmu) atau 'abid (ahli ibadah), agar dikatakan "sesungguhnya si Fulan telah
mengunjungi si Fulan". Atau juga mengundang orang banyak untuk
mengunjunginya, agar dikatakan "sesungguhnya orang-orang baragama sering mendatanginya".

PERKARA YANG DISANGKA RIYA DAN SYIRIK, PADAHAL BUKAN

1). Pujian Manusia Untuk Seseorang Terhadap Perbuatan Baiknya
Dari Abu Dzar, dia berkata : Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam : "Beritakan kepadaku tentang seseorang yang melakukan
amalan kebaikan dan orang-orang memujinya padanya!" Beliau bersabda : "itu adalah kabar gembira yang segera bagi seorang mukmin" [HR Muslim, no. 2642, Pent)

2). Giatnya Seorang Hamba Melakukan Ibadah Pada Saat Dilihat Oleh
Orang-Orang Yang Beribadah Al-Maqdisi rahimahullah berkata : Terkadang seseorang bermalam bersama orang-orang yang melaksanakan shalat tahajjud, lalu mereka semua melakukan shalat di sebahagian besar waktu malamnya, sedangkan kebiasaan orang itu melakukan shalat malam satu jam, sehingga ia pun menyesuaikan dengan mereka.
Atau mereka berpuasa, lalu ia pun berpuasa. Seandainya bukan karena
orang-orang itu, semangat tersebut tidak muncul.

Mungkin ada seseorang yang menyangka bahwa (perbuatan) itu merupakan riya', padahal tidak mutlak demikian. Bahkan padanya terdapat perincian, bahwasanya setiap mukmin menyukai beribadah kepada Allah Ta'ala, tetapi terkadang banyak kendala yang menghalanginya. Dan kelalaian telah menyeretnya, sehingga dengan menyaksikan orang lain itu, maka kemungkinan menjadi faktor yang menyebabkan hilangnya kelalaian tersebut, kemudian ia dapat menguji urusannya itu, dengan cara menggambarkan orang-orang lain itu berada di suatu tempat yang dia dapat melihat mereka, namun mereka tidak dapat melihatnya. Jika dia melihat jiwanya ringan melakukan ibadah, maka itu untuk Allah. Jika jiwanya merasa berat, maka keringanan jiwanya di hadapan orang banyak itu merupakan riya'. Bandingkan (perkara lainnya) dengan ini" [7]

Aku katakan :
Kemalasan seseorang ketika sendirian datang masuk dalam konteks sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"(Sesungguhnya srigala itu hanyalah memakan kambing yang menyendiri),
sedangkan semangatnya masuk ke dalam bab melaksanakan sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"(Hendaklah kamu menetapi jama'ah) [8]

3). Membaguskan Dan Memperindah Pakaian, Sandal Dan Semacamnya
Di dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda.

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi". Seorang laki-laki bertanya : "Ada seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?)". Beliau menjawab : "Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia" [HR Muslim no. 2749, Pent]

4). Tidak Menceritakan Dosa-Dosanya Dan Menyembunyikan
Ini merupakan kewajiban menurut syari'at atas setiap muslim, tidak boleh
menceritakan kemaksiatan-kemaksiatan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.

"Semua umatku akan diampuni (atau : tidak boleh dighibah) kecuali orang yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan, yaitu seseorang yang melakukan perbuatan (kemaksiatan) pada waktu malam dan Allah telah menutupinya (yakni, tidak ada orang yang mengetahuinya, Pent), lalu ketika pagi dia mengatakan : "Hai Fulan, kemarin aku melakukan ini dan itu", padahal pada waktu malam Allah telah menutupinya, namun ketika masuk waktu pagi dia membuka tirai Allah terhadapnya" [HR Al-Bukhari, no. 6069, Muslim no. 2990, Pent]

Menceritakan dosa-dosa memiliki banyak kerusakan, (dan) bukan di sini
perinciannya. Di antaranya, mendorong seseorang untuk berbuat maksiat di
tengah-tengah hamba dan menyepelekan perintah-perintah Allah Ta'ala.
Barangsiapa menyangka bahwa menyembunyikan dosa-dosa merupakan riya' dan menceritakan dosa-dosa merupakan keikhlasan, maka orang itu telah dirancukan oleh setan. Kita berlindung kepada Allah darinya.

5). Seorang Hamba Yang Meraih Ketenaran Dengan Tanpa Mencarinya
Al-Maqdisi berkata : "Yang tercela, ialah seseorang mencari ketenaran.
Adapaun adanya ketenaran dari sisi Allah Ta'ala tanpa usaha menusia untuk
mencarinya, maka demikian itu tidak tercela. Namun adanya ketenaran itu
merupakan cobaan bagi orang-orang yang lemah (imannya, Pent)" [9]

Demikian, beberapa penjelasan berkaitan dengan riya'. Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kita semua dari sifat buruk ini, baik dalam perkataan
maupun perbuatan, serta semoga menjadikan kita termasuk orang-orang yang
ikhlas dalam beramal.

Washallallahu 'ala nabiyyna Muhammad wa 'ala alihi washahbihi ajma'in.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

__________
Footnotes
[1]. Diasadur dari Kitab Al-Ikhlas, Syaih Husain bin Audah Al-Awaisyah,
Maktabah Islamiyyah, cetakan VII, Tahun 1413H-1992M halaman 9-10
[2]. Contoh dalam masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa slam
; "Alangkah banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan bagian
dari puasanya kecuali lapar. Dan alangkah banyak orang yang shalat malam,
namun ia tidak mendapatkan bagian dari shalat malamnya kecuali begadang" [HR
Ibnu Majah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dan dishahihkan oleh guru
kami Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-Jami, no. 3482]
[3]. Lihat kitab Al-Ikhlas, halaman 11-13
[4]. Bagian dari sebuah hadits di dalam dua kitab shahih
[5]. HR Abu Dawud dengan sanad yang shahih
[6]. Kitab Al-Ikhlas, halaman 63-67
[7]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, halaman 234
[8]. Nash haditsnya ialah : "Tidaklah tiga orang tinggal di sebuah desa atau
padang pasir, shalat (jama'ah) tidak ditegakkan pada diri mereka kecuali
mereka akan dikuasai oleh setan. Maka hendaklah kamu menetapi jama'ah,
karena sesungguhnya srigala itu hanyalah memakan kambing yang menyendiri"
[HR Abu Dawud, dihasankan Syaikh Al-Albani, Pent]
[9]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, halaman 218
Tags: ,

SEKOLAH IMAJINASI DAN PERANANNYA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

Dongeng (sebenarnya tidak hanya dongeng tapi juga cerita anak, kisah para nabi, dan kisah-kisah orang seperti yang diceritakan dalam kitab suci) yang dibaca ketika masih kanak-kanak atau yang diceritakan oleh orang tua atau guru ketika masih kanak-kanak, ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar pada anak tersebut. Bahkan, dongeng atau cerita anak yang berjudul sama dengan inti yang sama mempunyai pengaruh yang berbeda bagi beberapa anak.

Bagaimana jadinya kalau dongeng atau cerita anak itu sengaja ditulis dan diceritakan kepada anak-anak? Pengaruh yang ditimbulkannya pasti akan dahsyat sekali. Penulis sengaja menggarisbawahi kata ‘sengaja’ karena dongeng-dongeng yang diceritakan kepada anak-anak hanya dongeng-dongeng yang mengandung nilai n-Ach (the need for achievement – kebutuhan berprestasi) yang tinggi, yaitu: optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak gampang menyerah.

Namum demikian, dalam konteks ini, menyangkut tiga hal yang menjadi ukuran tinggi-rendahnya nilai n-Ach—sebagaimana diandaikan McClelland—tidaklah bersifat mutlak, artinya tidak harus demikian persis, melainkan bisa disesuaikan dengan nilai-nilai moral-etik yang berkembang di dalam budaya kita, sesuai dengan kearifan lokal (local-wisdom) kita sendiri. Misalnya, sebagai bangsa Indonesia, kita bisa merasukkan sikap-sikap semacam: patriotis dan berani membela yang benar—sebagaimana tecermin dalam simbol bendera pusaka, solidaritas sosial—sebagaimana tersirat dari sila keadilan sosial dalam Pancasila, toleransi budaya—sebagaimana terekspresi dalam semangat “Bhineka Tunggal Ika”, berdisiplin (karena kita merasakan sendiri, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mentoleransi keterlambatan dan tidak pernah datang tepat waktu), dan seterusnya.

Ditambah lagi, kalau dongeng-dongeng yang diceritakan pada anak-anak adalah dongeng-dongeng yang terkurikulum: sengaja ditulis, mengandung nilai n-Ach tinggi, dan didekasikan untuk anak-anak serta tidak hanya diceritakan oleh satu guru tapi oleh semua guru, penulis yakin, semakin dahsyatlah pengaruh dongeng itu terhadap anak-anak.



Sekolah Imajinasi

Istilah sekolah imajimasi penulis dapatkan dari buku Hernowo dalam bukunya Mengubah Sekolah mengatakan bahwa sekolah imajinasi adalah sekolah yang berusaha menunmbuhkan kekuatan dahsyat imajinasi. Sekolah ini tetap sebagaimana sekolah normal yang mengajarkan mata pelajaran sesuai kurikulum hanya saja memasukkan kemampuan berimajinasi dalam setiap kegiatan belajar-mengajarnya.

Hanya di ‘sekolah imajinasilah’ hal itu bisa terjadi. Mengapa hanya di sekolah imajinasi? Karena sekolah imajinasi mewajibkan guru untuk mendongeng kepada anak-anak sebelum mereka masuk ke topik yang akan dibicarakan. Atau, bisa saja dongeng yang diceritakan adalah dongeng yang berkaitan dengan topik yang kemudian dibahas.

Sebenarnya, mendongeng atau bercerita adalah salah satu metode dalam mengajar. Sayangnya, seperti yang kita rasakan sekarang, metode ini sudah semakin ditinggalkan. Ketika masuk kelas, guru mulai jarang bercerita atau mendongeng. Guru hanya menekankan pada materi yang harus mereka ajarkan dalam satu tahun pelajaran. Ada juga guru yang beralasan tidak bisa bercerita atau mendongeng.

Kedua alasan ini sebenarnya tidak bisa diterima karena sudah kewajiban guru untuk memberi bimbingan, pengajaran, dan pelatihan kepada anak-anak dam pemuda dalam perkembangan dan pembentukan kepribadiannya dengan jalan melengkapinya dengan norma-norma/nilai-nilai pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh negara dan bangsa.

Melihat hal di atas, sekolah imajinasi adalah solusi nyata dari permasalahan tersebut. Di sekolah imajinasi inilah – alasan kekurangan waktu dan alasan tidak bisa bercerita atau mendongeng – tidak bisa diterima. Di sekolah ini, mendongeng atau bercerita menjadi sesuatu yang harus dilakukan sebelum pembelajaran dimulai. Kalau ada guru yang beralasan tidak bisa bercerita atau mendongeng, ini saatnya bagi guru tersebut untuk belajar lagi dengan begitu kemampuannya akan semakin meningkat. Kalau ada guru yang beralasan kekurangan waktu untuk mengajar materi pelajaran, ini saatnya bagi guru tersebut untuk menulis atau mencari dongeng atau cerita anak yang ada kaitannya dengan topik yang diajarkan. Di sekolah imajinasi tidak alasan bagi guru untuk tidak bercerita atau mendongeng.

Memang dongeng ini takkan terlihat dampaknya dalam hitungan satu atau dua tahun mendatang, tetapi – merujuk David McClelland – 25 tahun kemudian, cerita anak-anak yang mengandung nilai n-Ach yang tinggi pada suatu negeri selalu diikuti dengan adanya pertumbuhan yang tinggi dalam negeri itu (Lihat Tinjauan Pustaka halaman ). Dengan kata lain, jika sekolah imajinasi mulai diberlakukan tahun ini (dengan dongeng dan cerita anak lain yang terkurikulum dan mengandung nilai n-Ach yang tinggi), dalam 25 tahun yang akan datang tepatnya tahun 2033 terbentuklah generasi Indonesia yang mempunyai optimisme tinggi, berani mengubah nasib, tidak pantang menyerah, patriotis dan berani membela yang benar, mempunyai toleransi budaya dan nilai-nilai n-Ach lainnya yang sengaja disisipkan dalam dongeng-dongeng yang ditulis atau dibacakan atau diceritakan untuk anak-anak.

Jadi, jika sekarang ini, kita mempunyai generasi yang bermental KKN dari tingkat bawah sampai atas, dari orang biasa sampai pejabat negara, tak terlepas dari dongeng yang berkembang di masyarakat kita dari zaman dahulu bahkan sampai sekarang: Si Kancil Mencuri Timun (Kancil Nyolong Timun). Seperti yang terpapar jelas dalam dongeng itu, kancil begitu cerdik, licik, dan suka menipu. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya karakter anak-anak kita, jika mereka masih dibesarkan dengan dongeng di atas. Kita akan memiliki generasi yang sama seperti yang kita miliki sekarang.

Melihat paparan di atas, tidak ada alasan lain untuk tidak mengadakan ‘sekolah imajinasi’, sebuah sekolah seperti halnya sekolah sekarang ini, hanya saja mendongeng sebelum memulai pelajaran adalah hal yang harus dilakukan oleh semua guru yang mengajar di sekolah tersebut. Lewat dongeng-dongeng yang terkurikulum inilah, karakter anak Indonesia terbentuk dan pada akhirnya membentuk pula karakter bangsa.
Tags: sekolah imajinasi, karakter bangsa

Dec 17, '08 9:02 PM
by riya for group muslim

Tuesday 23 September 2008

Tanda-tanda Lailatul Qadar



Setiap orang berhak mendapatkan keutamaan Lailatul Qadar karena malam itu tidak dikhususkan hanya bagi segelintir orang tertentu saja….Tentunya kita akan berusaha dengan sebaik-baiknya untuk mendapatkan malam mulia itu..Hal ini karena kita akan mendapatkan kebajikan berbuat amal ibadah seperti halnya selama 83, 3 tahun atau 1000 bulan… agar tidak salah dalam berusaha, maka tak ada salahnya kita mengetahui dengan betul tanda-tanda dari Lailatul Qadar berdasarkan beberapa hadits, diantaranya:

* Lailatul Qadar hadir di malam ganjl pada 10 hari terakhir…

Dari Ubadah bin Sahmit, Rasulullah SAW, bersabda: “Carilah malam lailatul Qadar itu pada 10 malam terakhir dan ganjil, yaitu pada malam 21, 23, 25, 27 atau 29 atau malam yang terakhir..maka ...
barang siapa yang bertepatan bangun untuk melakukan shalat dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang” (Riwayat at-Thabrani).

* Keadaan Malamnya Bersih

Diriwayatkan pula dari Ubadah bin Shamit, bhawa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya tanda-tanda dari Lailatul Qadar adalah bahwa pada malamnya bersih dan suci, seolah-olah padanya bulan yang bersinar, tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas, tiada ruang untuk bagi bintang untuk muncul hingga subuh…” (riwayat Ahmad dengan isnad jayyid)

Telah diriwayatkan pula bahwa al-Barraz dalam musnadnya dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “malam Lalialtul Qadar bersih, tidak panas dan tidak dingin”

* Mentari pagi sejuk

Dalam Mu’jam at-Thabrani al-Kabir dari Waailah bin al-Asqa’ dari rasulullah SAW, bahwa beliau telah bersabda: “Malam lailatul Qadar bersih, tidak dingin, tidak panas, tidak berawan padanya, tidak hujan, tidak ada angin, tidak bersinar bintang, dan dari tanda siangnya akan terbit matahari yang tiada padanya cahaya terang (maksudnya bersinar lembut).

Dari hadits-hadits diatas dapat kita simpulkan bahwa diantara tanda-tanda Lailatul Qadar, yaitu:
a. Pada malamnya keadaan bersih dengan cuaca tidak dingin, tidak pula panas.
b. Malamnya tenang, angin tidak bertiup sebagaimana biasa dan awan tipis.
c. Malamnya juga tidak turun hujan dan bintang seolah-olah tidak bercahaya, seolah-olah tidak muncul.
d. Pada siangnya matahari terbit dalam keadaan tidak bercahaya (maksudnya bercahaya lembut)

Sunday 31 August 2008

” Bagi seorang Alim, bertemu dengan setan lebih baek baginya, dari pada bertemu dengan orang Alim seperti dirinya.”


Takut Riya’


Ali bin Fudhail menuturkan bahwa ayahnya, Fudhail membuat kesepakatan dengan Ibnu al-Mubarak untuk bertemu di depan pintu “Bani Syaibah” (Salah satu yang ada di masjidil Haram, edit). Lantas, setelah bertemu, Ibnu al-Mubarak mengajak Fudhail untuk masuk ke dalam masjid, hingga mereka bisa memulai untuk sama-sama belajar. Namun, Fudhail berkata,” Bukankah kalau kita masuk, engkau ingin menyampaikan kepadaku pengetahuan yang tidak aku ketahui dan akupun akan menyampaikan kepadamu pengetahuan yang tidak engkau ketahui?”Ibnu al-Mubarak menjawab, “Benar, memang demikian “ Maka,keduanya pun pergi, dan tidak jadi masuk masjid.

Abu Sulaiman al-khitabi berkata, “Al-Fudhail berkata demikian.

Karena ia tidak suka dengan perbuatan tersebut dan takut riya.” Hal ini, seperti kata-kata Fudhail sendiri,” Bagi seorang Alim, bertemu dengan setan lebih baek baginya, dari pada bertemu dengan orang Alim seperti dirinya.”

Monday 25 August 2008

Awas, Jebakan Di Bulan Rajab!

AMby syamsul for group muslim
Bulan Rajab, sebagaimana postingan terdahulu, banyak dihiasi oleh bersliwerannya hadits-hadits palsu.Maka dalam rangka saling menasehati, saya postingkan ulang mengenai do'a menyambut bulan rajab yang terkenal itu, dari sebuah situs;
Shahihkah Do’a Bulan Rajab ?
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان

Senantiasa kita mendengar do’a sebagaimana tersebut diatas, saat mendekatnya kita dengan bulan suci Ramadhan. Kebanyakan da’i atau penceramah menyandarkan do’a ini kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam. Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah benar do’a ini berasal dari Rosululloh (haditsnya shahih)?
Nash Hadits tersebut, Telah disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad (1/259)
حدثنا عبد الله ، حدثنا عبيد الله بن عمر ، عن زائدة بن أبي الرقاد ، عن زياد النميري ، عن أنس بن مالك قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال : اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبارك لنا في رمضان وكان يقول : ليلة الجمعة غراء ويومها أزهر .
Menceritakan kepada kami Abdullah, Ubaidullah bin Umar, dari Zaidah bin Abi ar-Raaqod, dari Ziyad an-Numairi, dari Anas bin Malik berkata ia, Adalah Nabi shallallohhu ‘alaihi wasallam apabila masuk bulan Rajab, beliau berdo’a ; “Ya Alloh berkahilah kami dibulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami kepada Bulan Ramadhan. Kemudian beliau berkata, “Pada malam jumatnya ada kemuliaan, dan siangnya ada keagungan.
Takhrij hadits,
Diriwayatkan oleh Ibn Sunny dalam “Amal Yaumi wal Lailah” (659) dari jalur ibn Mani’ dikabarkan oleh Ubaidullah bin Umar Al-Qawaririy.
Dan Baihaqiy dalam Su’abul Iman (3/375) dari jalur Abi Abdullah al-Hafidz, dikabarkan dari Abu Bakr Muhammad bin Ma’mal, dari AlFadhil bin Muhammad Asy-Sya’raniy, dari Al-Qawaririy.
Dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (6/269) dari jalur Habib bin Al-Hasan, dan ‘Ali bin Harun ia berkata, menceritakan kepada kami Yusuf Al-Qadhi, dari Muhammad bin Abi Bakr, dari Zaidah bin Abi ar-Raaqod.
Dan AlBazar dalam Musnadnya (Mukhtasar Zawaidul Bazar li Hafidz 1/285) dari jalur Ahmad bin Malik al-Qusyairi dari Zaidah.
Hadits tersebut memiliki 2 cacat,
Ziyad bin Abdullah An-Numairy
Berkata Yahya bin Ma’in ; Haditsnya Dhaif
Berkata Abu Hatim ; Haditsnya ditulis, tapi tidak (bisa) dijadikan Hujjah
Berkata Abu ubaid Al-Ajry ; Aku bertanya kepada Abu Daud tentangnya, maka ia mendhaifkannya.
Ibnu Hajr berkata : Ia Dhaif
Zaidah bin Abi Ar-Raaqod
Berkata Al-Bukhary : Haditsnya Mungkar
Abu Daud berkata : Aku tidak mengenalnya
An-Nasa’i berkata : Aku tidak tahu siapa dia
Adz-Dzahaby berkata : Tidak bisa dijadikan hujjah

Komentar Ahlul Ilmi tentang hadits ini,
Al-Baihaqiy dalam Su’abul Iman (3/375) berkata, telah menyendiri Ziyad An-Numairi dari jalur Zaidah bin Abi ar-Raqad, Al-Bukhary berkata, Hadits dari keduanya adalah mungkar.
An-Nawawy dalam Al-Adzkar (274) berkata, kami telah meriwayatkannya dan terdapat kedhaifan dalam sanadnya.
Dan seterusnya lihat http://saaid.net/Doat/Zugail/57.htm
Wallahu a'lam
[di copy paste dari situs ini:
http://alatsar.wordpress.com/2007/07/18/doa-bulan-rajab/ ]

Membongkar Kedok Sufi : Beraqidah Sesat

Tak jauh beda dengan keadaan syi’ah Rafidhah, kaum Sufi – yang sebenarnya masih memiliki keterkaitan akidah dengan mereka – pun mengusung berbagai jenis kesesatan dan kekufuran, sebagai bahaya laten ditubuh kaum muslimin. Bahkan disaat kaum muslimin tidak lagi memperhatikan agamanya, muncullah mereka sebagai kekuatan spiritual yang mengerikan. Sehingga mereka tak segan-segan lagi menampilkan wacana kekufurannya ditengah-tengah kaum muslimin.

Puncak kekufuran yang terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau akidah bahwa siapa saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia akan sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah). Sehingga ia memiliki sifat-sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir ia bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah. Maha suci Allah dari apa yang mereka yakini!!. Akidah ini populer di tengah masyarakat kita dengan istilah manunggaling kawula gusti.

 Adapun munculnya akidah rusak ini bukanlah sesuatu yang baru lagi di jaman sekarang ini dan bukan pula isapan jempol dan tuduhan semata.

Bukti Bukti Nyata Tentang Akidah Manunggaling Kawula Gusti Di Tubuh Kaum Sufi Hal ini dapat dilihat dari ucapan para tokoh legendaris dan pendahulu sufi seperti Al Hallaj, Ibnul Faridh, Ibnu Sabi’in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam karya-karya mereka. Cukuplah dengan ini sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti tadi.

Al Hallaj berkata: “Maha suci Dia yang telah menampakkan sifat naasuut (insaniyah)-Nya lalu muncullah kami sebagai laahuut (ilahiyah)-Nya Kemudian Dia menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam wujud orang yang makan dan minum Sehingga makhluk-Nya dapat melihat-Nya dengan jelas seperti pandangan mata dengan pandangan mata” (Ath Thawaasin hal. 129)

 “Aku adalah Engkau (Allah) tanpa adanya keraguan lagi Maha suci Engkau Maha suci aku Mengesakan Engkau berarti mengesakan aku Kemaksiatan kepada-MU adalah kemaksiatan kepadaku Marah-Mu adalah marahku Pengampunan-Mu adalah pengampunanku “ (Diwanul Hallaj hal. 82)

 “Kami adalah dua ruh yang menitis jadi satu Jika engkau melihatku berarti engkau melihat-Nya Dan jika engkau melihat-Nya berarti yang engkau lihat adalah kami” (Ath Thawaasin hal. 34)

 Ibnu Faridh berkata dalam syairnya:Tidak ada shalat kecuali hanya untukku Dan shalatku dalam setiap raka’at bukanlah untuk selainku. (Tanbih Al Ghabi fi Takfir Ibnu Arabi hal. 64)

 Abu Yazid Al Busthami berkata: ”Paling sempurnanya sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma’rifat adalah adanya sifat-sifat Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada dirinya.” (An Nuur Min Kalimati Abi Thaifut hal. 106 karya Abul Fadhl Al Falaki) Maka diapun mengungkapkan keheranannya dengan berujar: “Aku heran kepada orang-orang yang mengaku mengenal Allah, bagaimana mereka bisa beribadah kepada-Nya?!

Lebih daripada itu, dia menuturkan pula akidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang dan mengetuk rumahnya. Dia bertanya: “Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: “Abu Yazid.” Diapun berkata: “Pergi! Tidaklah yang ada di rumah ini kecuali Allah.” (An Nuur hal. 84) Pada hal. 110 dia pernah ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: “Sifat Allah telah dimiliki oleh seorang hamba”.

Akidah Manunggaling Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak yaitu wihdatul wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak ada dzat lain yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat Allah.

 Ibnu Arabi berkata: Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat? Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati Atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat? (Fushulul Hikam hal. 90)

Penyair sufi bernama Muhammad Baharuddin Al Baithar berkata: “Anjing dan babi tidak lain adalah Tuhan kami Allah itu hanyalah pendeta yang ada di gereja” (Suufiyat hal. 27)

Dalil-Dalil Yang Dijadikan Kaum Sufi Sebagai Penopang Akidah Manunggaling Kawula Gusti

Sepintas, seorang awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini – tentunya menurut sangkaan mereka?!

 Mampukah orang tersebut membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah digiring kepada pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut? Dali-dalil tersebut adalah:

1. Surat Al Hadid 4 : وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.”

2. Surat Qaaf 16 : وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ yang artinya: “Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri.

3. Sabda Rasulullah dalam hadits Qudsi: “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang dia berjalan dengannya. (H.R. Al Bukhari)

 Bantahan Terhadap Syubhat (Kerancuan Berfikir) Mereka Dalam Mengambil Dalil-Dalil diatas

 Dengan mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah di bawah bimbingan para ulama terpercaya, maka kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih daripada sarang laba-laba yang sangat rapuh.

 1. Tentang firman Allah di dalam surat Al Hadid 4, para ulama telah bersepakat bahwa kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu Allah meliputi keberadaan mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka. Al Imam Ath Thilmanki rahimahullah berkata: “Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa makna firman Allah yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada” adalah ilmu-Nya. (Dar’ut Ta’arudh 6/250)

2. Yang dimaksud dengan lafadz “kami” di dalam surat Qaaf: 16 tersebut adalah para malaikat pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat setelahnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki dan Al Baghawi memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz “lebih dekat” adalah ilmu dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya sendiri.

 3. Al Imam Ath Thufi ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan bahwa ulama telah bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud. (Fathul Bari)

 Bahkan Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa barangsiapa mengarahkan pembicaraannya di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari itu. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 523-524 bersama Iqadhul Himam)

Beberapa Ucapan Batil Yang Terkait Erat Dengan Akidah Ini

1. Dzat Allah ada dimana-mana. Ucapan ini sering dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya: “Dimana Allah berada?” Maka sesungguhnya jawaban ini telah menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah serta kesepakatan Salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat maka dia telah menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan Salaf. Bersamaan dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan bagi hamba-hambanya. (Majmu’ Fatawa 5/125)

2. Dzat Allah ada di setiap hati seorang hamba. Ini adalah jawaban yang tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya tentang keberadaan Allah. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) juga berkata; “Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu (Salaf) umat ini yang berkata seperti itu. Tidak pula Al Qur’an ataupun As Sunnah, bahkan Al Qur’an, As Sunnah, kesepakatan Salaf dan akal yang bersih justru bertentangan dengam keyakinan tersebut. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal 375)

 Beberapa Ayat Al Qur’an Yang Membantah Akidah Manunggaling Kawula Gusti

Ayat-ayat Al Qur’an secara gamblang menegaskan bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar batil. Allah ta’ala berfirman : وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ artinya : “Dan mereka (orang-orang musyrikin) menjadikan sebagian hamba-hamba Allah sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.” (Az Zukhruf: 15) فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ “Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri yang berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak yang berpasang-pasangan (pula), Dia jadikan kamu berkembangbiak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asy Syura: 11)

Lihatlah, ketika Allah menjawab permintaan Musa yang ingin melihat langsung wujud Allah di dunia. Allah pun berfirman : لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ (artinya) : “Kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu, tatkala ia tetap ditempat itu niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhan menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun pingsan. Setelah sadar Musa berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Al A’raf: 143)

(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 30/II/I/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli ” Tasawuf Dan Aqidah Manunggaling Kawula Gusti”. Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)

Sumber Artikel: 
https://salafy.or.id/sufi-sesat/ | Salafy.or.id


Ta‘ziyah

Ta’ziyah berasal dari kata {العزاء}, yang berarti sabar. Maka ta’ziyah bisa diartikan membuat sabar dan menghibur orang yang ditimpa musibah dengan menyebutkan hal-hal yang dapat menghapus duka dan meringankan penderitaannya.
Ta’ziyah adalah Sunnah[1], dalil yang dipergunakan dalam mensunahkan ta’ziyah ini, diantaranya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ { مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيبَةٍ إلَّا كَسَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ حُلَلِ الْكَرَ امَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ } رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ
Dan dari Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar bin ‘Amr bin Hazm, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi saw, ia bersabda: “Tiada ada seorang mu’min pun yang berta’ziyah kepada saudaranya kerena suatu mushibah, melainkan Allah Azza wa Jalla memberinya pakaian kepadanya dengan perhiasan yang mulia di hari kiamat. (HR Ibnu Majah).
وَعَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ { مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ } رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ
Dan Dari Al Aswad, dari Abdullah, dari Nabi saw, ia bersabda: “Barangsiapa berta’ziyah kepada orang yang mendapat musibah, maka baginya seperti pahalanya (orang yang mendapat musibah itu). (HR Ibnu Majah dan At Tirmidzy)
Dalam Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah berkata:
التعزية مستحبة، ففي الترمذي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال‏:‏ ‏(‏من عزى مصاباً، فله مثل أجره‏)‏‏
Ta’ziyah itu disunahkan, diriwayatkan oleh Tirmidzy dari Nabi saw seseungguhnya dia bersabda: Barangsiapa berta’ziyah kepada orang yang mendapat musibah, maka baginya seperti pahalanya (orang yang mendapat musibah itu)[2]
Waktu Ta’ziyah
Adapun waktu ta’ziyah itu, dalam Al Umm Imam Asy Syafii berkata:
وَالتَّعْزِيَةُ مِنْ حِينِ مَوْتِ الْمَيِّتِ أَنَّ الْمَنْزِلَ , وَالْمَسْجِدَ وَطَرِيقَ الْقُبُورِ , وَبَعْدَ الدَّفْنِ , وَمَتَى عَزَّى فَحَسَنٌ
Ta’ziyah itu dari ketika meninggalnya orang yang meninggal, ditempat tinggalnya, di masjid, jalan kepekuburan, dan sesudah dikuburkan. Dan kapan saja dilakukan ta’ziyah adalah baik.[3]
Dalam fiqhus sunnah, Sayyid Sabiq rahimahullah menjelaskan sebagai berikut:
وهي لا تُسْتَحبُّ إلا مرةً واحدةً . وينبغي أن تكون التعزية لجميع أهل الميت وأقاربه الكبار والصغار والرجال والنساء، سواء أكان ذلك قبل الدفن أم بعده ، إلى ثلاثة أيام ، إلا إذا كان المعزَّي أو المعزّى غائباً ، فلا بأس بالتعزية بعد الثلاث
“Dan ta’ziyah itu dianjurkan melainkan hanya satu kali, dan bahwasannya dilakukan ta’ziyah itu kepada seluruh ahli keluarga mayit dan kerabat mayit baik yang besar maupun yang kecil, laki-laki maupun perempuan[4]. Adalah sama dilakukan hal yang demikian dalam berta’ziyah sebelum maupun sesudahnya sampai tiga hari, kecuali apabila orang yang akan berta’ziyah atau yang mau dita’ziyahi bepergian maka tidaklah mengapa ta’ziyah setelah tiga hari.[5]
Pembatasan tiga hari ini telah disepakati ulama ahlus sunnah berdasarkan hadist dibawah ini:
Diriwayatkan dari Zainab binti Abi Salamah, ia berkata: aku masuk ketempat Ummu Habibah, istri Rasul saw ketika bapaknya[6] meninggal. Ummu Habibah meminta wewangian dan mengoles kepada seorah jariah. Kemudian Ummu Habibah mengusap kedua pipinya. Sesudah itu Ummu Habibah berkata: Demi Allah saya mendengar Rasulullah saw diatas mimbar bersabda: Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman akan Allah dan hari Akhirat menahan dirinya dari berhias dan berinai karena kematian seorang keluarganya lebih dari tiga hari, terkecuali karena kematian suaminya, maka ia dia menahan diri dari berhias selama 4 bulan 10 hari.
Dan Zainab berkata juga, kemudian aku masuk ketempat Zainab binti Jahsy ketika saudaranya meninggal. Maka diapun meminta wewangian dan dia memakainya. Sesudah itu ia berkata: ketahuilah Demi Allah aku tidak butuh wewangian aku hanya mendengar Rasulullah saw bersabda: tiada halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tetap berihad[7]lebih dari tiga hari, terkecuali karena kematian suami 4 bulan 10 hari.
Kita ketahui dimasyarakat kita telah jauh dari tuntunan sunnah Rasulullah dan kesepakatan para ulama ahlus sunnah, dimana kita lihat sekarang ketika ada anggota keluarganya yang meninggal maka dilaksanakan sebuah acara hingga 7 hari lamanya, bukankah ini sesuatu yang mengada-ada seperti yang telah saya jelaskan pada bab III yang lalu.
Jika mereka memang mengaku kepada madzhab Immam Asy Syafii, seharusnya mereka menghindar dari berkumpul di rumah keluarga mayit, karena Imam Asy Syafii teramat benci hal itu, seperti perkataannya:
“Aku benci Al ma’tam dan dia itu ialah berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan.”[8]
Tidakkah kita malu mengaku sebagai pengikut Imam Asy Sayfii, akan tetapi apa yang diperbuat bertentangan dengan yang diucapkan oleh Imam Ays Syafii?
Didalam Fiqus Sunnah dijelaskan lebih mendetail, yakni
السنة أن يُعزّى أهلُ الميت وأقاربه ثم ينصرف كل في حوائجه دون أن يجلس أحد سواء أكان مُعزى أو معزياً ، وهذا هو هدي السلف الصالح
Menurut Sunnah bahwasannya ta’ziyah (dilakukan) kepada keluarga mayit, kerabatnya kemudian semua pergi menunaikan keperluannya tanpa seorangpun duduk baik yang berta’ziyah atau yang dita’ziyahi. Dan inilah tuntunan salafus Shalih.
[1] Lih: Kitab Rawudhotuth Thalibin oleh Imam Nawawi bab ta’ziyah, Fiqhus sunnah li Sayyid Sabiq bab ta’ziyah, At Taji wal ikalil li abi al Qasim al ‘Abduriy bab ta’ziyah, Nihayah Al Muhtaj ila Syarah Minhaj - Kitab Janaiz.
[2] Lim Majmu Fatawa pada وسئل عما يتعلق بالتعزية‏؟‏
[3] Lih: Al Umm bab al qaulu ‘inda dafin Al mayit
[4] Ta’ziyah kepada wanita ini Imam Nawawi berkata bahwa Imam Asy Syafii dan sahabat-sahabatnya berpendapat hendaklah di ta’ziyahi oleh mahramnya saja”. Imam Asy Syaffi berkata dalam Al Umm “Aku tidak menyukai berbicara dengan wanita itu (wanita muda) terkecuali ia mempunyai mahram. Lih: Bab yakuunu ba’da dafin hal 316, atau apa yang telah saya terjemahkan pada pab IV.
[5] Adapun pembatasan menganai tiga hari ini bisa dilihat juga pada kitab Rawudhatuth Thalibin bab Ta’ziyah, Kitab Syarah Kanz Ad Dhaqaiq bab al Janaiz fashal Ta’ziyah ahlil Mayyit, Kitab Kasyaf Al qina’ ‘an matan al iqna’ kitab janaiz fashlun raf’a ‘an al ardh. dan masih banyak lagi dari kitab-kitab asy Syafi’iyah.
[6] Abu Sufyan bin Harb
[7] Berihad ialah tidak memakai wangi-wangin karena kematian seseorang
[8] Kitab Al Umm bab Al Qiyamu li Janaiz hal 318 pada kitab aslinya atau lihatlah terjemahannya pada Bab IV yang lalu.

Bertamu, berta’ziyah dan bertoleransi
Antara memuliakan tamu, berbuat baik dan mengasihi tetangga serta bertoleransi dalam berta’ziyah
Islam adalah memang suatu agama yang rahmatan lil’alamin, sehingga Allahpun menganjurkan agar berbuat baik kepada tetangga seperti firman-Nya dalam surah An Nisa pada awal bab ini. Dan juga ditambah dari beberapa sabda nabi yang memang memerintahkan kita untuk berbuat baik, mengasihi dan menghormati tetangga serta tamu.
Begitupun ketika kita mendengar kabar kematian dari tetangga yang terdekat kita disunahkan untuk melakukan ta’ziyah yang intinya untuk mendo’akan simayit dan orang-orang yang ditinggal untuk bersabar dan menghibur mereka. Disamping itu pula ada batas-batas yang telah kita ketahui dalam berta’ziyah.
Adalah perintah Rasulullah saw ketika terdengar kabar kematian adalah
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
Buatkan untuk keluarga Ja’far makanan karena sungguh telah datang kepada mereka apa yang menyusahkan mereka. (HR Asy Sayfii yang Atirmidzy menghasankannya dan dishahihkan oleh Al Hakim).
Dan disinilah sebenarnya kesempatan kita untuk berbuat baik, mengasihi dan menghormati tetangga dengan jalan memberikan makanan kepada orang yang tertimpah musibah. Dan inilah sunnah yang benar.
Sedangkan dalam keadaan tetangga tidak mendapatkan musibah kematianpun kita disunnahkan memberikan makanan kepada tetangga alakadarnya, hingga Rasulullah saw bersabda: Hai Abu Dzar apabila kamu memasak (sesuatu yang) berkuwah, maka perbanyaklah air (kuwahnya) dan perhatikan tetanggamu. (HR Muslim). Dan dari Abu Hurairah , bersabda Rasulullah saw Wahai wanita janganlah merasa rendah jika akan memberi hadiah kepada tetangga, walau sekedar kikil kambing. (HR Bukhari dan Muslim). Nah apalagi jika tetangga kita sedang ditimpah musibah kematian salah satu anggota keluargannya, bukankah lebih disunnahkan! Inilah perhatian Rasulullah saw kepada umatnya.
Adalah suatu yang tidak bisa diterima oleh hati nurani dan akal yang sehat ketika tetangga ditimpah musibah kematian yang kemudian orang-orang berkumpul ketika waktu kematiannya, kemudian memasang tenda, kemudian keluarga mayit membuatkan kopi, menyediakan rokok serta mempersiapkan jamuan makanan pada malam harinya dari hari pertama hingga ketujuh untuk acara selamatan kematian, bukankah ini menyalahi Sunnah Rasulullah saw?
Dan adalah suatu yang haq bahwa seseorang yang akan bertamu untuk melakukan ta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal adalah dihormati oleh keluarga yang dita’ziyah-i sebagaimana diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: …Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, maka hendaklah dia memuliakan para tamunya. [1] Dan orang yang berta’ziyah itu adalah tamu yang wajib dihormati dan dimuliakan. Jika memang dia dalam berta’ziyah itu datang kerumahnya.
Akan tetapi orang yang berkunjung dan dikunjungi ini hendaklah menjaga apa-apa yang telah dilarang serta batasan-batasannya oleh ijma’ sahabat Nabi saw radhiallahu ‘anhum dan ulama salafus shaleh berdasarkan keterangan yang telah lalu pada bab III, yakni berkumpul-kumpul dirumah keluarga mayit secara berbodong-bondong dan keluarga mayit membuatkan makanan kepada orang yang datang tersebut, dan kemudian mengadakan suatu acara yang diada-dakan, karena sesuatu yang diada-adakan itu adalah Bid’ah. Maka hendaklah yang dita’ziyahi mengetahui kelemahan dirinya akibat ditinggal salah seorang keluarganya dan orang yang menta’ziyahi hendaklah jangan menambah-namah susah keluarga yang sedang ditimpah musibah.
Sebenarnya batasan-batasan inilah yang harus dijaga. Maka jika ingin berta’ziyah, berta’ziyahlah layaknya seorang tamu yang datang seorang diri untuk mendo’akan kepada mayit dan memohonkan ketabahan bagi yang ditinggal tanpa harus berbondong-bondong atau berkumpul-kumpul serta makan-makan dirumah ahli mayit.
Dan adalah diberi kemudahan bagi sanak famili dan atau karib kerabat yang jauh untuk menetap atau menginap sebagaimana yang telah diterangkan pada bab III terdahulu.[2] Betapa nikmatnya jika kita sama-sama mengerti akan ilmu yang haqiqi.
Dan kebersamaan pemahaman seperti ini tidak akan berhasil jika belum ada kedewasaan dalam berpikir dan mungkin betapa sulitnya mengembalikan sunah Rasul ini jika kita masih berpegang kepada tradisi.
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ - وَاَللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
[1] HR Bukhari fii KItab al Adab, Muslim fii Kitab al Iman, Atirmidzy fiii Kitab sifah al qiyamah.
[2] Lih: pada Bab III terdahulu (adanya suatu kebolehan bagi saudara dan kerabatnya yang jauh untuk tinggal dirumah ahli mayit dst…. )

http://attanzil.wordpress.com/2008/07/21/makna-taziyah-dan-hukumnya/#_ftn4